Mengenal Pola Pikir Allah

Mengenal Pola Pikir Allah

Banyak orang Kristen menanyakan bagaimana cara Allah berpikir atau bagaimana paradigma Allah terhadap manusia? Hal ini tentu wajar dan sangat normal sebab kita telah diciptakan Allah dan memperoleh anugerah penebusan darah Tuhan Yesus yang luar biasa. Justru, yang tidak wajar adalah ketika kita sudah diciptakan dan diselamatkan Tuhan, tetapi kita enggan mengenal siapa Allah dan bagaimana Ia memandang kita. Mari belajar dari kisah Ayub, seorang manusia biasa yang dipilih Allah untuk menjadi contoh bagaimana seharusnya kita hidup.

AYUB

Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1)

Pertama kali kitab Ayub menggambarkan Ayub adalah seorang yang saleh, jujur dan takut akan Allah. Inilah gambaran yang diutamakan Allah dalam kehidupan kita, sehingga Ia memakai Ayub menjadi teladan bagi kita. Alllah tidak mencari orang yang penuh percaya diri, pintar, berhikmat, kaya dan lain sebagainya.

Allah mengutamakan karakter Ilahi terlebih dahulu untuk menggambarkan Ayub yang sejati, yakni seorang manusia yang memiliki gaya hidup sorgawi, yakni saleh, jujur dan takut akan Tuhan. Ketika manusia memiliki gaya hidup yang diinginkan Tuhan, maka tidak ada kejahatan yang akan terjadi, sebab semuanya akan penuh damai sejahtera yang berasal dari Allah.

Hasil dari gaya hidup sesuai dengan kehendak Allah akan mendapatkan berkat yang berkelimpahan, bukan hanya berkat secara materi tetapi berkat rumah tangga dan berkat keluarga. Siapakah manusia yang tidak suka memiliki harta melimpah dan keluarga yang harmonis? Tentu semua orang mendambakannya, bukan? Dan inilah yang dimiliki Ayub.

Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan budak-budak dalam jumlah yang sangat besar, sehingga orang itu adalah yang terkaya dari semua orang di sebelah timur. Anak-anaknya yang lelaki biasa mengadakan pesta di rumah mereka masing-masing menurut giliran dan ketiga saudara perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama-sama mereka. (Ayub 1:3-4)

Karakter Ilahi yang melekat dalam diri Ayub tidak sirna meskipun Tuhan mengizinkan Iblis menghancurkan kehidupannya dengan membunuh semua anak-anaknya dan membakar semua harta bendanya, juga istri yang menyuruh Ayub mengutuki Tuhan lalu berharap kematian Ayub. Ayub tetap bersukacita atas kemalangan yang Tuhan izinkan, sebab ia telah merasakan bagaimana berkat Tuhan melimpah dalam hidupnya, sehingga ketika kemalangan tiba, hatinya masih melekat ke Tuhan.

Inilah hati yang dicari Tuhan yakni sebuah hati yang tidak melekat dengan harta, keluarga dan pasangan hidup meski masih tinggal di dunia. Allah juga menginginkan kita memiliki hati yang hanya berpaut kepada-Nya, sehingga ketika badai topan datang menerpa hidup kita atau kita kehilangan segalanya, namun kita tetap melekat pada Tuhan.

Ayub tidak menyalahkan Tuhan atas kemalangan yang dialaminya, tetapi malah mengucap syukur, tentu ini tidak mudah, tetapi inilah yang Tuhan inginkan, sebab setelah bencana itu Tuhan memberikan berkat berlipat kali ganda kepada Ayub. Karakter Ilahi yang kita miliki akan membuat kita terus melekat dengan Tuhan, entah saat kita diberkati atau saat susah. Dan inilah yang membuat hati Tuhan tidak rela jika menemukan karakter ini pada manusia, sehingga Tuhan tidak berlama-lama untuk menolong.

Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

you're currently offline